Aku masih terpikir akan perbincanganku dengan sepupu-sepupuku beberapa tahun lalu. Waktu itu kita sedang membicarakan seorang artis pria yang menghamili seorang perempuan di luar nikah. Artis pria itu kemudian “bertanggung jawab” dengan menikahi pacarnya tersebut. Sepupu-sepupuku menganggap itu adalah perilaku yang bijaksana dan bertanggungjawab untuk seorang lelaki, walau kita tidak membicarakan perasaan dari perempuan yang akan dikawininya itu. Waktu itu aku tidak berkata apa-apa. Aku merasa ada yang salah dari cara berpikir seperti itu, namun aku belum menemukan alasannya. Aku masih mengikuti cara berpikir masyarakat yang menganggap bahwa cara terbaik dan terbijaksana untuk bertanggungjawab adalah dengan seperti itu. Setelah memikirkannya berhari-hari, aku kemudian menemukan kejanggalannya. Kejanggalan berpikir masyarakat Indonesia yang sudah diracuni budaya patriarki.
Aku berpikir, “Mengapa laki-laki itu dipuji walau telah melakukan hal yang tak terpuji?”, “Bagaimana perasaan perempuannya?”, “Bagaimana jika perempuan tersebut tidak mau menikah secepat itu, dan bagaimana jika dia tidak yakin laki-laki itu adalah laki-laki terbaik untuk dia nikahi?”.
Masyarakat Indonesia belakangan ini seringkali terlalu fokus pada bagaimana pria bertindak dan merasa. Kata-kata “Wanita selalu benar” sebenarnya tidak sepenuhnya tepat menggambarkan lingkungan kita. Dalam lingkungan patriarki, pria harus selalu benar, dan jika sekali berbuat salah, wanitalah yang dianggap sebagai penyebabnya. Jika pria merasa sedih, wanita yang dianggap penjahatnya. Jika pria marah, wanita yang dianggap berbuat salah. Dan yang paling parah, jika pria selingkuh, wanita yang dianggap tidak menyediakan kebutuhan prianya secara maksimal. “Pria selalu benar”.
Kembali ke perbincanganku dengan sepupu-sepupuku mengenai pernikahan atas dasar kehamilan. Mari kita coba berasumsi beberapa kemungkinan yang dapat terjadi setelah sebuah pasangan yang belum menikah tak sengaja hamil. Dari sudut pandang pria, jika dia menikahi perempuan itu, maka dia akan disebut sebagai pria yang bertanggungjawab. Jika dia bertanggungjawab tanpa menikahinya, masyarakat akan menganggap pria dan perempuan itu buruk karena berzina. Barulah ketika dia kabur, dia akan dianggap pria tak bertanggungjawab. Sekarang kita lihat dari sudut pandang satu lagi, sudut pandang wanita. Dari sudut pandang wanita, jika dia dinikahi oleh pria tersebut, terlepas dia mau atau terpaksa, dia akan dianggap sebagai wanita yang “beruntung” karena prianya “bertanggungjawab”. Jika dia menolak dinikahi, dia akan dianggap wanita yang buruk. Betapa kacaunya pemikiran lingkungan kita. Kebanyakan dari kita masih melihat dari sudut pandang pria saja. Apa-apa tentang pria. Yang dipuji pria, yang dihujat wanita. Pria selalu benar.
Kasus lain yang masih bersinggungan adalah mengenai kata “Pelakor”. Panggilan ini akan disematkan kepada setiap perempuan yang memacari atau menikahi suami orang, terlepas dari dia mau, atau bahkan tahu. Mungkin ada panggilan untuk pria yang merebut cewek orang atau pria yang senang selingkuh, tapi popularitas dari panggilan “Pelakor” masih jauh lebih sering kita dengar di mana-mana. Ini menunjukkan bahwa masih banyak rakyat kita yang menjadikan kaum hawa sebagai sumber masalah terhadap apapun yang laki-laki lakukan. Lebih gilanya lagi, dalam kisah Nabi Adam dan Siti Hawa pun banyak orang yang seenaknya menganggap bahwa Siti Hawa lah penyebab Nabi Adam diturunkan ke bumi dari surga.
Media televisi dan film pun seringkali masih menggunakan istilah problematik tersebut. Program gosip hingga sinetron yang lebih fokus mengkriminalisasi wanita daripada pria. Ini tentu makin menormalisasi istilah-istilah problematik yang ditanamkan oleh budaya patriarki. Namun disamping itu, masyarakat Indonesia juga banyak yang sudah sadar akan kejanggalan ini dan mulai menyuarakannya lewat acara televisi hingga film. Salah satu contoh karya film yang menurut saya menarik dan dapat menyadarkan masyarakat mengenai masalah ini adalah serial karya Gina S. Noer yang berjudul “Saiyo Sakato”. Serial tersebut memfokuskan pada karakter wanita yang selalu dihujat warga dan diperlakukan buruk karena dia menikahi suami orang tanpa sepengetahuan diri dia sendiri kalau pria tersebut sudah menikah. Serial ini menunjukkan betapa bobroknya sistem berfikir patriarki yang bisa menyalahkan wanita yang bahkan tak tahu apa-apa.
Aku pun berdoa semoga karya-karya seperti ini lebih banyak dibuat di media terutama televisi karena kebanyakan warga seperti di pedesaan dan pedalaman yang budaya patriarkinya kental masih menjadikan acara-acara televisi sebagai tontonan mereka. Dengan begitu, diharapkan tak akan ada lagi mindset “Pria selalu benar” yang tertanam pada masyarakat dan generasi-generasi selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar