Di zaman ini, televisi dan film sudah menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia di berbagai penjuru kota. Semua informasi dan hiburan dapat kita tonton dari program-program yang disediakan media. Televisi terlebihnya, dapat menjagkau masyarakat yang lebih luas dari berbagai tingkat ekonomi masing-masing, karena biayanya yang tak sebesar membeli tiket menonton film di bioskop. Masyarakat Indonesia, terutama orang-orang pedalaman seperti di desa, terkadang hanya memiliki televisi sebagai sumber hiburan mereka. Walau zaman sekarang ini sudah ramai digunakannya gawai-gawai terbaru dan sosial media yang terus menerus bervariasi, televisi dan program-programnya tetap masih ramai ditonton yang terkadang juga bisa ditonton lewat website streaming internet seperti Youtube dan Vidio. Program televisi seiring waktu pun terus berkembang menjadi semakin variatif dan berwarna. Namun, dari banyaknya program-program televisi yang dapat menghibur masyarakat dan memberi dampak positif, terkadang produser dan kreator dari acara televisi terlalu berlebihan dalam merancang acaranya. Mereka terlena dan terlalu mengejar rating penonton, sehingga banyak acara yang ditayangkan bukannya memprioritaskan manfaat dan kemajuan bangsa, tapi lebih memperdulikan untung dan lakunya di pasar Indonesia. Alhasil, makin banyak program televisi yang problematik dan cenderung mengeksploitasi seseorang atau sebuah isu yang jika dibiarkan lebih jauh, masyarakat Indonesia sendiri akan menganggapnya normal dan tidak bermasalah sama sekali.
Banyak isu yang akhirnya dianggap remeh dan dinormalisasi masyarakat karena pengaruh dari acara televisi lokal yang terkesan menganggapnya tidak apa-apa untuk dijadikan sumber keuntungan produksi. Isu-isu seperti kemiskinan, kesetaraan gender, hingga kekerasan seksual bukanlah hal yang dengan mudah dapat dijadikan bahan acara televisi dan film dan dibuat menjadi sumber keuntungan produksi. Isu tersebut merupakan isu yang harus dikaji secara mendalam jika ingin dibuatkan karya atau acara televisi, karena jika tidak, hasil akhirnya akan terkesan remeh dan cenderung menganggap normal masalah tersebut. Acara-acara televisi pun banyak yang dengan jelas terlihat hanya menggunakan isu tersebut untuk keuntungan dan kepuasan penonton semata, bukan untuk benar-benar membantu para subjeknya.
Salah satu isu yang seringkali kita lihat bahkan abaikan eksploitasinya dalam program televisi adalah isu kemiskinan atau tingkat ekonomi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah dengan jelas mencantumkan bahwa hak privasi adalah hak kehidupan pribadi, yang mana harus dihargai dan tidak semena-mena dijadikan bahan acara televisi yang bersifat publik dan dapati ditonton masyarakat ramai. Dalam isu eksploitasi kemiskinan, terdapat istilah yang bisa digunakan untuk menjelaskan isu tersebut, yakni Poverty Porn. Poverty Porn adalah istilah yang digunakan ketika media, terutama televisi menyajikan acara yang secara gamblang menunjukkan “kesusahan” dan “kesengsaraan” orang-orang yang berada di tingkat ekonomi yang rendah. Acara televisi mempertontonkan anak-anak yang kelaparan bahkan kotor, seorang lansia kurus yang ditampakkan seakan-akan tidak bisa lagi mengurus hidupnya, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut dapat digolongkan ke dalam poverty porn, dimana media menggunakan kehidupan privasi orang-orang miskin sebagai daya tarik demi meraih simpati penonton dan mendapat rating yang besar di kancah industri televisi.
Hal ini seringkali masih terjadi di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Negara-negara berkembang masih banyak terlihat tempat-tempat pedalaman yang memiliki rakyat kelas bawah. Media televisi memanfaatkan hal ini demi keuntungan mereka. Hal ini, mau apapun alasannya, tentu telah melanggar privasi dan hak mereka sebagai warga Indonesia. Dramatisasi yang dibuat oleh host program sangat memperlihatkan bahwa mereka “kasihan” pada masyarakat kelas bawah yang mereka jadikan target. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, mungkin saja mereka tidak hidup sesusah dan semenyengsara itu, seperti yang dikatakan oleh media. Mereka bisa jadi lebih bersyukur dan sudah merasa nyaman dengan apa yang mereka punya saat ini, walau rumah yang reyot, tikar yang tak sempurna, hingga tembok yang tidak kokoh, namun karena memang tidak sebagus rumah yang kita punya, kita jadi merasa mengasihani mereka. Kita terlalu memperhatikan lingkungan sekitar dari mata yang subjektif. Ketika seseorang tidak seberuntung kita, pasti dia sengsara dan butuh dikasihani. Media televisi memanfaatkan pula cara pandang masyarakat kelas atas yang masih subjektif atau satu arah tersebut demi keuntungan mereka.
Pada tahun 2004 silam, seorang produser bernama Helmy Yahya memproduksi sebuah acara bernama “Duit Kaget” yang ditayangkan di stasiun RCTI. Di acara tersebut, Helmy Yahya menyamar menjadi seorang misterius bernama Mr. Easy Money dan menarik secara acak seorang warga yang diketahui memiliki tingkat ekonomi yang rendah dari tempat pedalaman untuk diberikan secara cuma-cuma uang sebesar 10 juta rupiah yang dapat digunakan warga pilihan tersebut untuk belanja sebebas mungkin dalam waktu 30 menit. Antusias warga dan orang yang diberikan hadiah tersebut benar-benar diperlihatkan dalam acara televisi tersebut. Duit Kaget kemudian berubah nama menjadi Uang Kaget Mengubah Nasib, kemudian menjadi Uang Kaget Reborn, dan pada akhirnya berubah kembali menjadi Uang Kaget seperti semula dan sekarang ditayangkan di stasiun MNCTV. Dapat kita temui dengan mudah di bagian mana terdapat unsur eksploitasi kemiskinan atau poverty porn yang ditunjukkan dalam program televisi yang diproduseri sekaligus dibintangi Helmy Yahya tersebut. Pertama, dari nama karakter Helmy Yahya yang bernama Mr Easy Money saja bisa terlihat buruknya cara pandang subjektif orang-orang kelas atas kita. Nama Mr Easy Money seakan-akan menggambarkan bahwa sang pembawa acara, yakni Helmy Yahya yang merupakan orang yang memiliki kekayaan melimpah menjadi “pahlawan” yang ditunggu-tunggu masyarakat miskin. Kata Easy Money pun sudah memperlihatkan bagaimana Helmy Yahya yang kaya dapat dengan mudahnya memberikan uang dan kesenangan kepada orang-orang yang kurang mampu. Hal ini bisa menjadi unsur kepuasan sendiri kepada penonton-penonton yang berada di tingkat ekonomi kelas atas dan membuat penonton-penonton itu merasa tinggi.
Sistem acara televisinya pun terkesan sangat merendahkan orang-orang yang dianggap kurang mampu di dalamnya. Ketika acara televisi membuat seseorang yang kurang mampu mendapat “uang kaget” dan bisa membelanjakannya sesuka hati dalam waktu yang ditentukan, kesusahan mereka akan makin terlihat dan tergambar ketika mereka dengan cepat dan buru-buru membeli berbagai kebutuhan pokok mereka dengan uang tersebut. Orang yang kurang mampu akan berlarian, berusaha menggunakan semua uang yang diberikan sang pembawa acara, seakan-akan mereka adalah binatang yang kelaparan dan sangat membutuhkan bantuan dari para orang kaya. Buruknya, hal tersebut malah dijadikan sebagai bahan hiburan dan tontonan di televisi. Stereotipe masyarakat miskin akan dipandang semakin buruk dan dianggap sebagai orang-orang rendahan yang tidak bisa hidup tanpa “uang kaget” tersebut.
Program acara yang begitu kapitalis ini rela menjatuhkan image warga-warga disana demi keuntungan besar dan rating semata. Sebenarnya masih banyak acara-acara televisi di stasiun televisi Indonesia yang masih menayangkan program-program serupa, seperti Mikrofon Pelunas Utang, Bedah Rumah, Orang Pinggiran, dan masih banyak acara-acara lainnya. Sebenarnya, dari pihak KPI pun sudah memiliki pasal yang bisa digunakan untuk memberhentikan acara yang terbukti melanggar hak privasi warga, dan dari regulasi yang terpampang pada standar penyiaran Indonesia dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Namun, regulasi-regulasi masih memperbolehkan acara-acara yang sudah dibahas di atas untuk tetap tayang walau sudah tampak jelas eksploitasi yang disuguhkan. Maka dari itu, regulasi untuk penyiaran pada program televisi di Indonesia haruslah dikaji ulang agar lebih peka terhadap masalah-masalah eksploitasi ini.
Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa jika warga yang “kurang mampu” memberi consent untuk dijadikan subjek dalam acara televisi, hal itu tak akan menjadi masalah. Cara berpikir tersebut salah besar, karena di sini yang dieskploitasi adalah image kemiskinan di Indonesia. Mindset orang Indonesia akan menganggap bahwa orang-orang miskin tidak akan bisa hidup tanpa sedekah dari kita, dan sedekah materil adalah solusi keberlangsungan hidup mereka. Kita akan beranggapan bahwa masalah kemiskinan sesederhana ketidakpunyaan materi, padahal bisa jadi asal-muasal kemiskinan adalah kerakusan pejabat yang korupsi, keadaan geografis, politik, dan lain sebagainya. Maka dari itu, masalah utamanya berada di acaranya, bukan consent dari warganya, begitu...
Sumber :
Rosniar. (2021). POVERTY PORN: KOMODIFIKASI DAN ETIKA MEDIA. Jurnal
Dakwah Dan Sosial Keagamaan, 7(2).
http://jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/aldin/article/view/2384
Pramudya, B. (2022, April 17). Poverty Porn : Eksploitasi Kemiskinan dalam Komoditas
Pasar Media. Kumparan.
https://kumparan.com/bima-pramudya/poverty-porn-eksploitasi-kemiskinan-dalam-komo
ditas-pasar-media-1xtkX6rPpyu/4
Panji, T. (2021, September 22). Melestarikan Kemiskinan di Layar Kaca. Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/thomaspanji/6149c4bb06310e0a100b1f72/melestarikan
-kemiskinan-di-layar-kaca?page=2&page_images=1
Utami, A. B., & Assagaf, A. A. (2020). Kemiskinan Dalam Tayangan TV Indonesia.
Jurnal Konvergensi. https://journal.paramadina.ac.id/index.php/IK/article/view/450/164
As'ad, H. (2018). Pemaknaan Penonton Televisi Terhadap Gambaran Kemsikinan
Dalam Program Reality Show "Mikrofon Pelunas Utang".
https://repository.unair.ac.id/76520/3/JURNAL_Fis.K.82%2018%20Asa%20p.pdf
Khusna, I. H., & Susilowati, N. (2015). Regulasi Media di Indonesia (Kajian pada
Keterbukaan Informasi Publik dan Penyiaran). Promedia, 1(2).
Kusumahadi, R. A. (2012). Interpretasi Khalayak Tentang Tayangan Reality Show "Jika
Aku Menjadi" Di Trans TV Episode Tukang Servis Senapan. Skripsi.
http://digilib.uinsa.ac.id/17483/6/Bab%203.pdf
Rizki Yuliana, A. (2022, Agustus 22). Eksploitasi Kemiskinan, Alasan Poverty Porn
Harus Dihentikan. IDN Times.
https://www.idntimes.com/life/inspiration/aneu-rizky-yuliana/alasan-poverty-porn-harus-d
ihentikan-c1c2?page=all
Avalda Fawalina, V. (2024, Januari 8). Tayangan Eksploitasi Kemiskinan: Deritamu
Bahagiaku. Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/vilzaavalda4961/659c246712d50f188534b7e8/tayangan-e
ksploitasi-kemiskinan-deritamu-bahagiaku
Widya Putri, A. (2017, Juli 4). Candu Tayangan yang Mengumbar Kesedihan. Tirto.id
https://tirto.id/candu-tayangan-yang-mengumbar-kesedihan-crV4
Komentar
Posting Komentar